Jumat, 04 Desember 2015

MENGAPA GEREJA KATOLIK MENENTANG HABIS-HABISAN "PERCERAIAN, ABORSI, KONTRASEPSI DAN POLIGAMI"


PENDAHULUAN: INDAH DAN DALAMNYA MAKNA SAKRAMEN PERKAWINAN KATOLIK:

Ini adalah sesuatu yang layak kita renungkan, karena sebagai seorang KRISTIANI [TERUTAMA KATOLIK] kita mungkin pernah mendengar ada orang mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang perceraian, aborsi dan kontrasepsi, mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan sakramen Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah menerima sakramen Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya, mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu ‘keras’ di dalam Gereja Katolik. Agar kita dapat memahaminya, mari bersama kita melihat bagaimana Tuhan menghendaki Perkawinan sebagai persatuan antara suami dan istri, dan sebagai tanda perjanjian ilahi bahwa Ia menyertai umat-Nya.


I: SAKRAMEN PERKAWINAN MENURUT KITAB SUCI (ALKITAB):

Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah:

(Kejadian 1:26-27)
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.

Sedangkan Hawa (PEREMPUAN) diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman ‘penolong’ yang sepadan dengannya:

(Kejadian 2:20-22)
Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.

sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu ‘daging’:

(Kejadian 2:24)
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
Jadi persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka:

(Kejadian 1:28)
Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." 

Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu:

(Matius 19:5-6)
Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."


(Markus 10:7-9)
sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.

Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya:

(Matius 19:8)
Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.

KENAPA TIDAK DEMIKIAN, KARENA:

(Maleakhi 2:14-16)
Dan kamu bertanya: "Oleh karena apa?" Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu. Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel — juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!

Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih:

(1 Yohanes 4:8)
Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. 

(1 Yohanes 4:16)
Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.

Dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas). Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera ‘menghasilkan’ Roh Kudus. Walaupun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hubungan antara Allah Bapa dan Putera itu seperti hubungan suami dengan istri. Kasih di dalam diri Trinitas merupakan misteri yang dalamnya tak terselami, namun misteri ini direncanakan Allah untuk digambarkan dalam hubungan suami dan istri, agar dunia dapat sedikit menyelami misteri kasih-Nya. Maksudnya adalah, manusia diciptakan sesuai gambaran Allah sendiri untuk dapat menggambarkan kasih Allah itu.

Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam diri Trinitas, adalah kasih yang bebas (tak ada paksaan), setia, menyeluruh/ total, dan menghasilkan buah. Lihatlah Yesus, yang mengasihi Bapa dengan kasih tak terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia, wafat di salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan manusia. Allah Bapa mengasihi Yesus dengan menyertaiNya dan memuliakan-Nya; dan setelah Yesus naik ke surga, Allah Bapa dan Yesus mengutus Roh KudusNya. Kasih inilah yang direncanakan Allah untuk digambarkan oleh kasih manusia, secara khusus di dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan.

Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia.

Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya:

(Efesus 5:32)
Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.
Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk menguduskannya:

(Efesus 5:25)
Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.

Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya; dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai ‘kepala istri’ :

(Efesus 5:23-24)
Karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.

Seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala.

Kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya ini menjadi inti dari setiap sakramen karena sakramen pada dasarnya membawa manusia ke dalam persatuan yang mendalam dengan Allah. Puncak persatuan kita dengan Allah di dunia ini dicapai melalui Ekaristi, saat kita menyambut Kristus sendiri, bersatu denganNya menjadi ‘satu daging’. Pemahaman arti Perkawinan dan kesatuan antara Allah dan manusia ini menjadi sangat penting, karena dengan demikian kita dapat semakin menghayati iman kita.

Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil untuk hidup menikah. Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah bahkan merupakan kesempurnaan perwujudan gambaran kasih Allah yang bebas, setia, total dan menghasilkan banyak buah:

(Matius 19:12)
Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."

(Matius 19:19)
hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."

Oleh kehendak bebasnya, mereka menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan mereka yang total kepada Allah, sehingga dihasilkanlah banyak buah, yaitu semakin bertambahnya anak-anak angkat Allah yang tergabung di dalam Gereja melalui Pembaptisan, dan tumbuh berkembangnya mereka melalui sakramen-sakramen dan pengajaran Gereja.

Akhirnya, akhir jaman-pun digambarkan sebagai “perjamuan kawin Anak Domba”:

(Wahyu 19:7-9)
Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia. Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih!" [Lenan halus itu adalah perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-orang kudus.] Lalu ia berkata kepadaku: "Tuliskanlah: Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan kawin Anak Domba." Katanya lagi kepadaku: "Perkataan ini adalah benar, perkataan-perkataan dari Allah.

"Artinya, tujuan akhir hidup manusia adalah persatuan dengan Tuhan. Misteri persatuan ini disingkapkan sedemikian oleh Sakramen Perkawinan, yang membawa dua akibat: pertama, agar kita semakin mengagumi kasih Allah dan memperoleh gambaran akan kasih Allah Tritunggal, dan kedua, agar kita mengambil bagian dalam perwujudan kasih Allah itu, seturut dengan panggilan hidup kita masing-masing.


II: MAKNA SAKRAMEN PERKAWINAN

Melihat dasar Alkitabiah ini maka sakramen Perkawinan dapat diartikan sebagai persatuan antara pria dan wanita yang terikat hukum untuk hidup bersama seumur hidup. Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita yang telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-istri, pada kelahiran dan pendidikan anak. (KGK 1601) Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan ‘berbuah’.


Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi ‘karunia‘ satu bagi yang lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri. Inilah artinya sakramen perkawinan: suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang terpisahkan seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari suami selalu merenungkan: “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku?” demikian juga, istri merenungkan, “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada suamiku?”

Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika di dalam persatuan itu mereka bekerjasama dengan Tuhan untuk mendatangkan kehidupan bagi manusia yang baru, yang tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah. Dalam hal ini penciptaan manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya manusia yang diciptakan Tuhan seturut kehendakNya dengan mengaruniakan jiwa yang kekal (‘immortal’). Sedangkan hewan dan tumbuhan tidak mempunyai jiwa. Jadi peran serta manusia dalam penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang sangat luhur, karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan oleh Allah.

Kemudian, setelah kelahiran anak, sang suami dan istri menjalankan peran sebagai orang tua, untuk memelihara dan mendidik anak mereka. Dengan demikian mereka menjadi gambaran terbatas dari kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam hal pemeliharaan/ pengasuhan (God’s maternity) dan pendidikan/ pengaturan (God’s paternity) terhadap manusia. Di sini kita lihat betapa Allah menciptakan manusia sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain diciptakan sebagai mahluk spiritual yang berkehendak bebas, dan karena itu merupakan mahluk tertinggi dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, selanjutnya, manusia dikehendaki Allah untuk ikut ambil bagian di dalam pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan, pemeliharaan dan pengaturan manusia yang lain.

Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut ‘kebahagiaan’, dan dalam ikatan kasih yang tulus dan total ini, masing-masing anggota keluarga menguduskan satu sama lain.

Jadi secara garis besar, sakramen perkawinan mempunyai tujuan untuk mempersatukan suami istri, menjadikan suami istri dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah, dan akhirnya dengan sakramen perkawinan ini suami dan istri dapat saling menguduskan, sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan sejati dalam Kerajaan Surga.


POLIGAMI: MENGAPA GEREJA MELARANG HAL TERSEBUT (BUKAN SOLUSI DALAM SEBUAH PERKAWINAN):

Ada sejumlah orang berpikir bahwa ayat Kel 22:16 dapat dipakai sebagai dasar pembenaran perbuatan poligami, karena menginterpretasikan ‘seseorang (’iyš)’ yang disebut di ayat tersebut sebagai laki-laki dalam status apapun, termasuk yang sudah menikah. Ayat tersebut berbunyi:

Keluaran 22:16
Apabila seseorang membujuk seorang anak perawan yang belum bertunangan, dan tidur dengan dia, maka haruslah ia mengambilnya menjadi isterinya dengan membayar mas kawin.

Ayat ini ada dalam perikop yang menjelaskan tentang adanya konsekuensi yang harus ditanggung oleh pihak pencuri/ seseorang yang mengambil milik orang lain dengan tidak sah. Maka konteks ayat ini adalah mengajarkan tanggung jawab yang harus diambil oleh seorang laki-laki yang telah mengambil keperawanan seorang wanita. Memang di sana tidak tertulis, apakah seseorang itu adalah laki-laki yang lajang, atau termasuk yang sudah beristri. Namun Gereja dan para ahli Kitab Suci tidak menginterpretasikannya sebagai dasar pembenaran bagi poligami umat Kristen. Demikian pula, adanya ayat-ayat lain dalam Perjanjian Lama, yang menyebutkan bahwa sejumlah patriarkh dan raja yang mempunyai lebih dari satu istri, juga tidak menjadi dasar bahwa umat Kristen boleh meniru untuk mempunyai lebih dari satu istri. Mengapa?

Karena membaca satu ayat saja dan melepaskan dari konteksnya dan ayat-ayat yang lain, dapat menghantar kepada pengertian yang keliru. Apa yang tertulis jelas sebagai ketentuan dalam Perjanjian Lama, kemudian diperbaharui oleh Kristus dalam Perjanjian Baru, dengan ketentuan yang berbeda, untuk menyampaikan kesempurnaan hukum Allah yang digenapi di dalam Kristus. Jika sudah diperbaharui dan disempurnakan dalam PB, maka menjadi keliru jika kita kembali mengikuti hukum PL yang tidak sempurna. Sebab Allah menghendaki agar kita menjadi sempurna, seperti Ia sempurna adanya:

Matius 5:48
Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."

dan Allah mempersiapkan umat-Nya secara bertahap untuk mencapai kesempurnaan itu, yang tercapai di dalam Kristus. Maka tidak mungkin, setelah Kristus menyempurnakannya, kemudian Allah kembali menyetujui hukum yang belum sempurna itu, seperti yang tertulis dalam Perjanjian Lama, seolah Kristus belum datang untuk menyempurnakannya.
Contoh: Prinsip ‘mata ganti mata’ dalam PL (lih. Im 24:20; Kel 21:24; 19:21; kemudian diperbaharui oleh Yesus, dalam PB (Mat 5:38-42). Prinsip sunat jasmani PL (Kej 17:10) digenapi dalam PB menjadi sunat rohani (Rm 2:29). Prinsip hari Sabat dalam PL menjadi hari Tuhan dalam PB. Demikian pula, hukum perkawinan yang belum sempurna di zaman PL (sebab saat itu masih dimungkinkan adanya poligami dan perceraian) telah disempurnakan oleh Kristus dalam PB, menjadi perkawinan yang monogam dan tak terceraikan (Mat 19:5-6), sebagaimana dikehendaki Allah sejak awal penciptaan (Kej 2:24).

Seperti halnya kita sebagai umat Kristiani tidak bisa kembali menyetujui prinsip ‘mata ganti mata’, demikianlah kita juga tidak dapat kembali menyetujui poligami dan perceraian, walaupun hal-hal tersebut diperbolehkan dalam PL [karena kekerasan hati manusia], sebab Tuhan Yesus sudah memperbarui ketentuan-ketentuan tersebut dalam PB ( UNTUK LEBIH JELASNYA SILAHKAN BACA PENJELASAN YG DIATAS ).

Allah mengambil gambaran perkawinan, yaitu hubungan kasih suami istri, sebagai penggambaran kasih-Nya dengan umat pilihan-Nya. Dalam PL, diajarkan bahwa Allah menyebut bangsa Israel sebagai isteri/mempelai-Nya (lih. Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst). Allah setia kepada bangsa Israel, sebagaimana sang suami terhadap istrinya. Bangsa Israel-lah yang kerap tidak setia, dengan melakukan berbagai penyembahan berhala, yang kerap disamakan dengan perzinahan di hadapan Allah (lih. Yeh 23:1-49, khususnya ay. 37). Di sepanjang PL, tercantum perjuangan jatuh bangunnya bangsa Israel dalam hal penyembahan berhala, yaitu bahwa mereka menyembah allah-allah lain. Namun, Allah sendiri tidak membalas perlakuan umat-Nya Israel dengan berpaling dari umat pilihan-Nya ini. Allah tetap memilih untuk mengutus Putera-Nya sebagai keturunan bangsa Israel ini.

Dalam Perjanjian Baru, Kristus memperbarui ketentuan ini. Gereja menjadi umat pilihan-Nya yang baru. Kasih suami istri yang menjadi penggambaran kasih Allah kepada umat Israel kini digenapi dengan gambaran kasih antara Kristus dan Gereja:

Efesus 5:22-33
Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya. Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat. Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.

Sama seperti Kristus tidak mungkin menyangkal kesatuan antara Diri-Nya dengan Allah Bapa, Kristus juga tidak mungkin menyangkal kesatuan antara Diri-Nya dengan Gereja yang didirikan-Nya. Kristus juga tidak mungkin mendirikan banyak Gereja, sebab itu tidak sesuai dengan ajaran-Nya tentang perkawinan, yaitu bahwa seorang pria (a man) akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya ( BUKAN DENGAN ISTRI - ISTRINYA ), sebagaimana jelas disebutkan dalam:

Matius 19:6
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."

yang merupakan pengulangan dari apa yang telah ditentukan Allah sejak semula dalam:

Kejadian 2:24
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. 

Demikianlah, dari ayat ini diketahui bahwa dalam perkawinan hanya dimungkinkan persatuan antara seorang suami dan seorang istri, yang keduanya akan menjadi satu. Keduanya tidak dapat diceraikan manusia, entah dengan memberikan surat cerai, atau dengan tindakan poligami, yang menentang makna perkawinan ‘antara seorang laki-laki dan seorang perempuan’. Tindakan menceraikan istri dan kawin dengan wanita lain disebut sebagai perzinahan, dan pria yang kawin dengan perempuan yang diceraikan juga berbuat zinah, demikian pula perempuan tersebut (lih. Luk 16:18, Mrk 10:12). Dan jika dalam Mat 19:9, disebutkan adanya kekecualian, maksudnya adalah dalam kasus seseorang yang menikah secara tidak sah (seperti yang umum terjadi di masa itu, yaitu perkawinan incest, atau menikah dengan istri saudaranya sendiri, seperti kasus raja Herodes), maka ia haruslah menceraikan istri yang tidak sah tersebut, agar dapat kembali kepada istrinya yang sah.

Seperti halnya di PL, dalam PB juga disebutkan bahwa dosa ketidakmurnian/ impurity (perzinahan dan percabulan) adalah sama dengan penyembahan berhala:

Kolose 3:5
Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala.

Dan perbuatan perzinahan ini bahkan dapat dimulai di dalam hati dengan memandang perempuan dan menginginkannya:

Matius 5:27-28
Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah.
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.

dan dengan demikian dosa perzinahan tidak terbatas hanya pada perbuatan yang sudah diwujudkan dalam perbuatan. Jika memandang dan menginginkan wanita saja sudah merupakan dosa perzinahan, apalagi mencemarinya dalam perbuatan perzinahan. Selanjutnya, firman Tuhan dalam PB juga mengajarkan bahwa orang-orang yang yang berbuat cabul dan berzinah ini “tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah”:

1 Korintus 5:6-9
Kemegahanmu tidak baik. Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi mengkhamiri seluruh adonan? Buanglah ragi yang lama itu, supaya kamu menjadi adonan yang baru, sebab kamu memang tidak beragi. Sebab anak domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus.Karena itu marilah kita berpesta, bukan dengan ragi yang lama, bukan pula dengan ragi keburukan dan kejahatan, tetapi dengan roti yang tidak beragi, yaitu kemurnian dan kebenaran. Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul.

Telah sejak abad-abad awal, Gereja mengartikan Mat 19:5-6 tersebut sebagai dasar dari perkawinan yang monogami dan tak terceraikan. Praktek ini dilestarikan sampai sekarang dalam Gereja Katolik. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa walaupun perkawinan monogam ini diyakini oleh sebagian besar umat Kristen, namun dalam sejarahnya terdapat sejumlah orang yang mempertanyakannya. Ada sejumlah orang yang menyebut dirinya Kristen, namun menganut paham poligami/ polygyny, seperti kaum Anabaptists (abad ke-16) dan Mormonism (abad ke-19). Akal sehat menunjukkan bahwa kesaksian jemaat awal yang lebih dekat dengan zaman Kristus dan para Rasul adalah lebih kuat daripada pandangan pribadi sejumlah orang yang terpisah sekian abad dari para Rasul. Sebab jemaat perdana yang menjadi saksi bagi pengajaran Kristus, para rasul dan para penerus mereka, secara tak terputus meyakini hal perkawinan monogam adalah ajaran Kristus yang tidak dapat diubah dan ditawar-tawar. Itulah sebabnya, secara umum umat Kristen tetap berpegang kepada perkawinan yang monogami, justru karena hal itu yang secara jelas terungkap dalam keseluruhan ayat Kitab Suci.


PAHAM POLIGAMI / POLYGYNY YG MENENTANG HAL INI / AJARAN INI, SETIDAK - TIDAKNYA MENENTANG ATAU MELANGGAR 3 HAL INI:

1: Melanggar martabat perkawinan, yang menjadi gambaran akan kasih Kristus kepada Gereja-Nya; 

2: Persamaan martabat antara pria dan wanita, yang dalam perkawinan memberikan diri mereka secara total, dan karena itu unik dan eksklusif, hanya untuk pria dan wanita yang bersangkutan, sebab jika ada pihak lain, maka cinta yang diberikan itu terbagi, dan tidak bisa disebut sebagai cinta yang total;

3: otoritas mengajar Gereja, menempatkan dirinya sendiri di atas para penerus Rasul yang diberi wewenang oleh Kristus untuk menginterpretasikan Kitab Suci, dalam hal ini berkenaan dengan ajaran tentang hakekat perkawinan.

Dengan kata lain, mereka yang menentang monogami, membaca Kitab Suci dan mengartikannya sendiri sesuai kehendak dan pengertiannya sendiri, sehingga sampai pada pengertian yang asing yang tidak diajarkan oleh Kristus, para Rasul dan para penerus mereka.

Akhirnya juga perlu kita sadari bahwa poligami adalah paham yang bertentangan dengan hukum kodrat. Ini nyata dari efeknya yang negatif, tidak saja bagi keluarga-keluarga yang bersangkutan (terutama akan menghambat proses pendidikan anak secara sehat dan wajar), tetapi juga bagi masyarakat luas. Itulah sebabnya praktek tersebut ditolak -terutama oleh kaum wanita sendiri- di manapun- jika mereka boleh memilih, termasuk di Indonesia. Secara umum, para wanita yang normal tidak menginginkan dirinya dimadu, dan ini sudah menunjukkan suatu kebenaran kodrati bahwa hukum ini melanggar martabat manusia, dalam hal ini martabat wanita.


KESIMPULAN:

Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk menggambarkan kasih-Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah Tritunggal, dan kasih-Nya kepada manusia yang tak pernah berubah. Keluhuran Perkawinan juga dinyatakan oleh Kristus, yang mengangkat nilai Perkawinan dengan menjadikannya gambaran akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru. Dengan memiliki ciri-ciri yang demikian, Perkawinan merupakan ‘sakramen’, yaitu tanda kehadiran Allah di dunia, sebab sesungguhnya Allah menggabungkan kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada umat manusia. Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri. Maka, apa yang dianggap mustahil oleh dunia, yaitu setia seumur hidup kepada seorang manusia, menjadi mungkin di dalam Perkawinan yang mengikutsertakan Allah sebagai pemersatu. Ini merupakan kesaksian Kabar Gembira yang terpenting akan kasih Allah yang tetap kepada manusia, dan bahwa para suami dan istri mengambil bagian di dalam kasih ini. Betapa kita sendiri menyaksikan bahwa mereka yang mengandalkan Tuhan dalam perjuangan untuk saling setia di tengah kesulitan dan cobaan, sungguh menerima penyertaan dan pertolonganNya pada waktunya. Hanya kita patut bertanya, sudahkah kita mengandalkan Dia?

SALAM DAMAI KRISTUS..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar