Senin, 16 November 2015

SURAT BARNABAS DAN TENTANG MANI DAN ALBIGENSIAN


I: TENTANG SURAT BARNABAS

A: siapakah Barnabas: 
 Kitab Suci tidak pernah mengatakan bahwa Barnabas adalah murid terdekat Yesus. Kitab Suci mencatat bahwa murid yang dikasihi Yesus adalah Rasul Yohanes, yang pada saat perjamuan terakhir duduk di dekat Yesus dan bersandar dekat kepada-Nya (Yoh 13:23). Barnabas, yang asalnya bernama Yosef, dikatakan dalam Kitab Suci sebagai rasul (lih. Kis 13:43), seperti halnya Paulus, namun tidak termasuk dalam bilangan kedua belas rasul.

B: Garis Besar Isi dari Surat Barnabas:
Surat Barnabas menceritakan adanya gnosis (perfect wisdom) yaitu pengetahuan yang pasti akan rencana keselamatan. Terdiri dari dua bagian: 1) Bab 1-5: 4 adalah pengajaran/ peringatan, bahwa hari- hari yang jahat telah tiba, dan bahwa akhir dunia dan hari Penghakiman akan datang, dan para beriman yang telah dibebaskan dari hukum seremonial Yahudi, harus mempraktekkan kebajikan dan meninggalkan dosa. 2) Bab 5:5- bab 17 adalah bersifat spekulatif, untuk memberikan kebebasan umat Kristen dalam hal peraturan- peraturab Nabi Musa. Penulis menunjukkan bagaimana hukum Taurat harus dimengerti sebagai simbol kebijakan Kristiani dan institusinya, bagaimana Perjanjian Lama merupakan gambaran/ persiapan bagi kedatangan Kristus, sengsara-Nya dan Gereja-Nya. Sebelum mengambil kesimpulan, penulis mengulangi bagian pertama surat dengan mengutip penjabaran dari dokumen lain (the Didache) yaitu tentang kontras dua hal: jalan terang dan jalan kegelapan (bab 18- 20).

Surat Barnabas ini mempunyai karakter allegoris/ simbolis yang kuat, yang menurut para ahli kitab suci bahkan berlebihan sehingga cenderung menganggap PL sebagai semata- mata simbolis dan menolak arti literal PL dengan mengatakan bangsa Yahudi tidak pernah mempunyai perjanjian dengan Tuhan, dan bahwa sunat adalah pekerjaan Iblis, sehingga secara umum menentang tradisi Yahudi (lih. bab 7:3,11; 9:7, 10:10; bab 14).

Meskipun demikian, sebenarnya surat Barnabas ini tidak dituliskan untuk maksud polemik. Sebab cara penyampaiannya tentang Perjanjian Lama juga tidak dapat disamakan dengan interpretasi kaum Basilides dan Marcion yang menyalahgunakan tulisan ini. Surat Barnabas ini hanya merupakan semacam peringatan seorang pengajar agar umat tidak kembali ke ajaran seremonial Yahudi.

C: Sifat umum surat Barnabas: 
Penulis menjabarkan kesalahan- kesalahan kaum Yahudi, secara khusus adalah kaum Ebionit (lih. bab 4:4,6; 5:5, 12:10, 14:1). Namun demikian ia tidak menyerang mereka, melainkan hanya menuliskan pendapatnya tentang Yudaism dan hukum-hukumnya. Penulis tidak menuliskannya kepada umat Kristen secara umum, tetapi kepada jemaat setempat yang daripadanya ia sendiri merasa terpisah (lih. bab 1:2,4; 21:7,9).
Dalam sudut pandang literatur, Surat Barnabas ini tidak menunjukkan penulisan yang baik, sebab dituliskan dengan gaya yang melelahkan (tedious), kurang menggunakan ekspresi, kurang dalam hal kejelasan, dan terdapat banyak ketidakcocokan. Namun dari segi dogmatik, yang terpenting adalah surat Barnabas ini menyebutkan/ mengutip Injil Matius sebagai Kitab Suci (bab 4:14).

Dalam hal Kristologi, surat ini mengembangkan doktrin soteriologi dan justifikasi yang diajarkan Rasul Paulus. Maka keliru jika disebutkan bahwa ia menganggap Kristus sebagai hanya roh/ jiwa saja di dalam gambaran Tuhan. Walau surat ini tidak menyatakan secara eksplisit bahwa Kristus sehakekat dengan Bapa, namun surat ini mengakui adanya keilahian Kristus yang sudah ada sebelum Penciptaan dunia. [Dan dengan demikian mengakui bahwa Kristus adalah Sang Sabda yang sudah ada bersama- sama dengan Bapa sebelum Penciptaan dunia].
 

II: KAPAN SURAT BARNABAS DITULISKAN:

Injil Barnabas (atau lebih tepat disebut sebagai surat/ homili Barnabas) telah dikenal pada sekitar abad ke 2 di Gereja Alexandria, karena diperkirakan memang dituliskan oleh seseorang dari jemaat Alexandria. Tidak ada tulisan lain dari para Bapa Gereja abad- abad awal yang mengkonfirmasi bahwa surat tersebut benar- benar dituliskan oleh Barnabas, sehingga siapa pengarang surat ini dan kepada siapa surat ini dituliskan secara khusus tidak diketahui dengan pasti.

Penggambaran tentang kontroversi ajaran Yahudi di sini dijabarkan sebagai sesuatu yang telah lampau di jemaat. Bab 16:3-5, menyebutkan adanya perintah rekonstruksi bait Allah di Yerusalem. Perintah ini diberikan oleh Kaisar Hadrian tahun 130, untuk menghormati Yupiter, untuk membangun kembali bait Allah yang telah dihancurkan oleh Kaisar Titus. Kaisar Hadrian juga melarang praktek sunat oleh orang Yahudi, seperti yang telah disebutkan secara implisit di surat ini, bab 9:4. Maka surat Barnabas ini diperkirakan dituliskan sekitar tahun 130-131 jadi jauh sesudah Injil sinoptik (Matius (38-45), Markus, Lukas (64-67).

Penulis surat ini kemungkinan adalah seseorang dari jemaat Alexandrian, yang menempatkan dirinya berseberangan dengan tradisi Yahudi, meskipun ia sendiri tidak selalu memahami ritus dari Nabi Musa (lih. Bab 7). Sampai abad ke-empat, surat ini dikenal hanya oleh Gereja di Alexandria. Dari tulisan Bapa Gereja Klemens dari Alexandria dan Origen, diketahui bahwa sekitar tahun 200, bahkan di Alexandria, surat Barnabas ini tidak dianggap sebagai tulisan yang diilhami oleh Roh Kudus.


KESIMPULAN:

Sebagai umat KRISTIANI, kita hanya berpegang dari apa yang telah ditetapkan dari Magisterium tentang kanon Kitab Suci. Magisterium melalui Paus Damasus I (382) dan konsili- konsili berikutnya menentukan hanya ada empat Injil (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes) dan inilah yang dipegang oleh Gereja Katolik. Sepanjang pengetahuan saya Surat Barnabas ini tidak dikutuk oleh Paus Damasus/ Sinoda Roma. Surat itu hanya tidak diakui sebagai tulisan yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, sehingga tidak dimasukkan dalam kanon Kitab Suci.



III: TENTANG / SIAPAKAH MANI???:
Mani adalah seorang Persia yang mendirikan agama yang dikenal sebagai Manichæism pada abad ke 3, yang merupakan campuran antara dualisme Zoroastrian, cerita rakyat Babilonia dan etika Buddism, dengan penambahan elemen- elemen Kristiani. Prinsip ajarannya adalah adanya dua prinsip utama yaitu kebaikan dan kejahatan, seperti yang kemudian diajarkan kembali oleh ajaran sesat Albigensian di abad ke 12, seperti yang kemudian diajarkan kembali oleh ajaran sesat Albigensian di abad ke 12.

Mani mensejajarkan dirinya dengan Buddha, Zoroaster dan Yesus dan menyebut diri sebagai “Rasul dari Tuhan yang benar”. Prinsip ajarannya adalah ajaran gnostik, yang mengajarkan keselamatan dengan pengetahuan, yaitu kosmogoni. Manichaeanism mengaku sebagai aliran Kristen, namun ajarannya tidak sesuai dengan ajaran Kristus: Mani mengaku sebagai Roh Kudus, dan ia menolak Kisah Para Rasul. Ia menolak semua kitab Perjanjian Lama, namun menerima sebagian dari ayat- ayat Perjanjian Baru, untuk disesuaikan dengan ajarannya. Baginya Yesus hanya sebuah partikel ilahi (aeon) Terang, dan Mani menolak bahwa Yesus telah benar- benar lahir dalam sejarah manusia. Jadi yang dipercaya oleh Mani, adalah Yesus hanya sepertinya bayangan, yang kelihatannya hidup, menderita dan wafat, tetapi semua itu tidak sungguh- sungguh terjadi dan dialami Yesus. Ini adalah sesuatu ajaran yang sangat bertentangan dengan inti iman Kristiani!.

Mani bekerja di bawah Raja Persia Shapur I (242) kemudian Hormizd I, namun penerusnya Bahram I mulai menganiaya Mani dan para pengikutnya. Ia (Raja Bahram I) akhirnya memenjarakan Mani, dan Mani wafat di penjara pada tahun 276 dan 277. Memang kenyataannya, ajaran Manichaeism ini banyak berkembang di Alexandria, kemungkinan karena adanya sekilas kemiripan dengan surat Barnabas tersebut (penolakan ajaran Yahudi, dan pertentangan antara terang dan kegelapan); walaupun kalau sudah diperhatikan detailnya, sesungguhnya tidak berhubungan. Karena pada saat surat Barnabas itu dituliskan, ajaran gnostik campuran ala Mani itu belum anda. Dan secara prinsip, sebenarnya terdapat perbedaan yang besar, terutama karena surat Barnabas tetap mengajarkan ke- Allahan Yesus, sedangkan Manichaeism tidak. Mani-lah yang mengajarkan prinsip Kristologi Docetism tentang Yesus yang tidak sungguh- sungguh disalibkan, seperti yang kemudian diyakini oleh umat Islam.

St. Agustinus pernah mengikuti aliran Manichaeism selama beberapa tahun dan mendalaminya (373-383- sebelum bertobat menjadi Katolik), sampai akhirnya ia menemukan sendiri bahwa aliran ini sungguh- sungguh sesat. Akhirnya, St. Agustinus malah menjadi seorang yang menentang Manichaeism dan menuliskan banyak artikel untuk membuktikan bahwa ajaran Mani (yang mengklaim mengajarkan pengetahuan sempurna untuk keselamatan) adalah ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus, dan bahkan bertentangan dengan akal sehat.


IV: HERESI SESAT ALBIGENSIAN:

Albigenses adalah suatu sekte Kristen di abad 12-13 yang menganut ajaran Dualisme. Walaupun mereka menamakan dirinya sebagai Kristen, namun sebenarnya ajaran sekte ini sangatlah menyimpang dari ajaran Kristiani. Karena mereka tidak mempercayai adanya satu Tuhan Pencipta dan Pengatur segalanya, tetapi mereka mempercayai adanya dua tuhan, yang satu baik dan yang kedua, jahat. Maka Tuhan (allah yang baik) dan Iblis (allah yang jahat) sama-sama bertanggung jawab terhadap dunia ini. Dengan prinsip ini, maka mereka percaya bahwa segala yang berupa material di dunia, termasuk yang ada pada manusia (yaitu tubuh manusia) adalah hasil pekerjaan Iblis dan sepenuhnya adalah jahat. Maka manusia yang merupakan separuh ciptaan Tuhan, dan separuh ciptaan Iblis, perlu untuk diselamatkan. Sumber keselamatan ini bukanlah Penjelmaan Tuhan Yesus ke dunia dan kurban salib-Nya tetapi pembebasan jiwa dari tubuh. Maka bagi para Albigensian, Kristus bukan Tuhan dan juga bukan manusia, tetapi semacam malaikat yang mengambil tempat sementara dalam tubuh manusia, dan sengsara dan wafat-Nya hanyalah ilusi.

Konsekuensi dari ajaran sesat Albigensian ini adalah sangat merusak, karena: 1) konsep keselamatan bagi mereka adalah ‘pembebasan dari tubuh’, bukannya penghapusan dosa oleh jasa Kristus dan anugerah hidup ilahi di dalam-Nya; 2) mereka membenci perkawinan, karena perkawinan memungkinkan terciptanya ‘tubuh’ yang baru 3) mereka mendukung homoseksualitas/ perkawinan sesama jenis; 4) mereka membenci kehamilan; wanita yang mengandung dianggap sebagai seorang yang dirasuki Iblis. 5) mereka mendorong tindakan bunuh diri, karena menyebabkan seseorang terlepas dari ‘tubuh’. Di atas semua itu, dengan konsep ‘merendahkan tubuh, mereka tidak menghargai Inkarnasi (Penjelmaan Tuhan Yesus menjadi manusia, dan mengambil ‘tubuh’ manusia). Dan karena Penjelmaan Kristus merupakan salah satu inti Iman Kristiani, maka dapat dimengerti bahwa ajaran Albigensian/Kataris ini sungguh sangat menentang kebenaran iman Kristiani.
Para Albigensian ini beranggapan bahwa selama jiwa masih bersatu dengan tubuh maka masih ada kemungkinan ia jatuh dalam perangkap Iblis. Untuk mengatasi hal ini mereka mengadakan suatu ritus yang dinamakan Consolamentum, dan sesudah itu mereka disebut Perfect, dan terikat kewajiban-kewajiban yang sangat serius, dan tidak boleh diingkari, agar tidak lagi jatuh dalam bahaya perangkap Iblis.  Kewajiban ini misalnya, hidup selibat seumur hidup, puasa yang ketat (tidak boleh makan daging, telur, susu, mentega dan keju), tidak boleh terikat sumpah. Dari ketentuan ini mayoritas orang tidak dapat melaksanakannya. Mereka yang telah menerima Consolamentum ini banyak yang memilih untuk bunuh diri daripada menjalankan hidup seperti itu. Lagipula,  menurut mereka bunuh diri adalah tindakan yang sempurna bagi Albigensian yang sejati, yang merasa tidak mampu melaksanakan cara hidup yang disyaratkan.

Para Albigensian ini bertemu dalam ibadah secara teratur. Mereka membaca Alkitab, terutama Perjanjian Baru, yang telah mereka terjemahkan dalam bahasa vernakular/ setempat, dengan tafsiran-tafsirannya  yang sangat anti Katolik. Mungkin kita bertanya-tanya mengapa sampai ajaran yang menyimpang ini sampai meluas dan diterima banyak orang? Pertama, karena mereka mempunyai banyak pengkhotbah yang mengkhotbahkan pengajaran ini ke-mana-mana, sedangkan pada saat itu para imam Katolik rata-rata tidak pernah/ jarang berkhotbah. Maka mereka yang lahir dan dibesarkan secara Katolik lama-kelamaan berpikir bahwa itu memang ajaran Kristiani. Kedua, para Perfect itu memang hidup dengan sangat miskin, sedangkan pada saat itu para imam memang hidup dalam kelimpahan. Para Perfect banyak berderma, dan menggunakan uang sumbangan untuk mendukung industri bagi lapangan kerja para pemeluk sekte ini. Maka sedikit demi sedikit, sekte ini semakin berakar dalam kehidupan negara dan ekonomi.


I: PENGARUH YG DITIMBULKAN OLEH SEKTE ALBIGENSES:

Konsili pertama yang membahas masalah heresi ini adalah Konsili Orleans tahun 1022, yang mengadili 13 orang imam/ clergy. Heresi/ bidat ini berkembang luas di Jerman, Italia utara, Perancis selatan, lalu juga ke Champagne, Languedoc (salah satu pusat Christendom yang penting) dan Milan, dan menyebar ke Burgundy, Picardy, Fladers, Perancis tengah, Tuscany, khususnya, Florence, dan juga ke Roma, Italia selatan, Sicily dan Sardinia.

Maka kemudian Albigenses ini (atau juga sering disebut Catharists) dikecam di banyak Konsili, yaitu di Tolouse (1119), Lateran II (1139), Rheims (1148), Tours (1163), dan Lateran III (1179). St. Bernardus dikirim untuk berkhotbah di daerah-daerah yang terpengaruh oleh heresi ini, namun baik kesucian maupun kefasihannya berkhotbah tidaklah membawa pengaruh yang besar. Di Perancis selatan, gereja-gereja sudah tidak dikunjungi, sakramen ditinggalkan. Di Toulouse sekte ini malah menjadi agama resmi. Utusan Paus Alexander III diusir dan dihina, kecaman dari Konsili 1179, tidak digubris. Hampir semua provinsi Christendom yang penting telah menjadi anti- Katolik. Beberapa uskup dan imam Katolik juga mulai banyak yang terpengaruh oleh ajaran mereka.


II: PAUS INNOCENT III DAN REAKSI DARI PIHAK GEREJA KATOLIK:

Setelah Paus Innocentius III dipilih, ia memusatkan perhatian untuk menangani masalah yang terjadi di Languedoc. Dia menunjuk dua pertapa dari ordo pertapa Cistercian sebagai pembawa pesannya. Misi mereka adalah untuk mempengaruhi para pangeran, untuk mengusir para bidat dan menyita harta milik mereka, berdasarkan hukum pada tahun 1184. Keberhasilan usaha mereka terhitung kecil, baik untuk menaggulangi heresi maupun untuk mengusahakan reformasi bagi kehidupan para imam/ clergy yang pada waktu itu banyak yang hidupnya tidak sesuai dengan panggilan hidup mereka. Maka pada tahun 1202, kedua pertapa ini digantikan oleh dua pertapa Cistercian lainnya, salah satunya bernama Peter de Castelnau dan Raoul. Castelnau ini seorang yang berani dan penuh semangat. Uskup Agung Languedoc diturunkan, karena menolak untuk bekerjasama, Uskup Toulouse diturunkan, karena kasus simoni, demikian juga dengan Uskup Beziers.

Pada tahun 1205 maka propaganda anti Catharist/ Albigensian mencapai puncaknya, melalui pengajaran, khotbah, pamflet, dsb, yang diarahkan oleh disiplin religius yang terbaik. Para utusan Paus juga mengajarkan tentang iman supaya umat Katolik tidak ragu tentang iman mereka dan kesungguhan Bapa Paus untuk mengkoreksi kehidupan para imam/ clergy. Namun demikian, misi inipun tidak berakibat banyak. Pangeran Touluose tetap menolak bekerja sama.

Kemudian Bapa Paus memperoleh bantuan dari Diego (uskup Osma) dan Dominic. Mereka membentuk tim  tujuhpuluh dua murid, yang seperti dalam Injil. Mereka hidup dalam kemiskinan, dan berkhotbah dan terbagi-bagi dalam kelompok kecil, berdialog dengan para bidat. Pada tahun 1206-1207 mulailah terjadi pertobatan, dan sebagaian dari para heretik itu kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Tahun 1207 seluruh Waldensian kembali, dan Paus Innocentius III mengizinkan mereka hidup sesuai dengan kaul kemiskinan  mereka dalam satu order religius yang bernama Poor Catholics (Kaum Katolik yang miskin).

Setelah 10 tahun misi ini, Castelnau kembali ke Toulouse untuk berdialog dengan Pangeran Raymond VI, agar ia mau bekerjasama. Sudah dua kali Pangeran Raymond berjanji mau bekerjasama, namun kemudian ia berubah pikiran dan menolak secara resmi. Maka Castelnau memberi sangsi ekskomunikasi dan memberi interdict/ pemotongan hak dan fungsi pada daerah kekuasaannya. Namun, tiga bulan kemudian, 15 Jan 1208, Peter de Castelnau dibunuh oleh salah seorang sersan kerajaan Toulouse. Pangeran Toulouse secara umum bertanggungjawab atas hal ini. Kematian Castelnau ini mengakhiri misi khotbah dari kaum Cistercian dan digantikan oleh perang. Pembunuh Castelnau di- ekskomunikasi, dan keputusan atas Pangeran Raymond diperbaharui. Hak-haknya sebagai pemimpin daerah dicabut, sekutu-sekutunya dibebaskan dari perjanjian. Paus Innocentius III menyatakan perang / crusade selama 40 hari untuk mengalahkan para heretik, memberikan indulgensi kepada para prajurit, seperti yang diberikan kepada prajurit di Holy Land. [Walaupun perang selalu pada dasarnya kejam dan tidak kudus, tetapi untuk alasan membela kebenaran iman ini, maka disebut perang kudus/ crusade]. Pada tahun 1209, pasukan dari 200,000 siap mengepung Toulouse.

Pangeran Raymond VI, akhirnya menyerah (18 Juni 1209), dan tunduk pada hukuman dera di hadapan publik di St. Gilles , berjanji untuk mengalahkan para heretik. Setelah itu pasukan sampai di Valence dan ia bergabung dengan mereka. Pada bulan Agustus kedua pusat heretik dikalahkan yaitu Beziers dan Carcassone. Sayangnya kemenangan di Beziers ditandai juga dengan pembunuhan massal, yang tidak hanya mencakup pasukan kota, tapi juga beribu penduduk sipil. Di sinilah terdengar seruan yang mengerikan di Beziers: “Bunuh saja semua, Tuhan akan mengetahui siapa milik-Nya.” Salah satu pemimpinnya yaitu Simon de Monfort, yang kemudian menjadi penguasa atas Bezier dan Carcassone. Selama tahun-tahun ke depan dia berjuang melawan Pangeran Raymond, mereka yang tergantung padanya, dan raja Aragon, Peter II yang mempunyai kuasa di atas Pangeran Raymond.

Sejak saat itu perang melawan Albigenses juga tercampur dengan motif-motif lainnya, termasuk persaingan politik. Pangeran Raymond sendiri tidak pernah memberikan sikap yang jelas, karena ia tidak mau menyerahkan para bidat. Maka utusan Paus kembali memberikan sangsi ekskomunikasi kepada Raymond, dan interdict. Pangeran Raymond naik banding kepada Paus Innocentius, yang kemudian mencabut interdict tersebut. Tiga bulan kemudian diadakan Konsili untuk membahas pelanggaran Raymond ini (1210) dan Raymond tidak mengindahkan apapun kewajiban yang sudah dijanjikannya di bawah sumpah. Dia tidak membubarkan pasukannya ,dan  terus mendukung para bidat/ heretik. Paus Innocentius kembali memberi peringatan, dan kembali mengingatkannya untuk bekerja sama. Kembali Konsili diadakan untuk membahas apa yang telah dilakukan Pengeran Raymond (Des 1210, Jan 1211, Feb 1211). Beberapa pelanggaran dilakukannya, dan akhirnya, diputuskan oleh Paus bahwa Pangeran Raymond di ekskomunikasi, dan dikatakan sebagai musuh Gereja.

Selanjutnya, Simon de Montfort sedikit demi sedikit menaklukkan tempat- tempat heretik tersebut. Lavaur jatuh ke tangan pasukan crusaders, yang menang atas daerah itu, dengan membunuh penduduk di sana, setelah mendengar bahwa pasukan merekapun sebanyak 6000 orang telah dibantai pihak heretik. Paus Innocent III berusaha melerai pertengkaran tersebut, namun tak berdaya karena terjepit oleh kesaksian- kesaksian kedua belah pihak yang saling menjatuhkan. Peter II Raja Aragon yang adalah ayah mertua Raymond berusaha memperoleh ampun bagi menantunya, namun tak berhasil. Sementara itu Paus Innocentius akhirnya menjadi yakin atas pelanggaran dan penipuan dari Pangeran Raymond, dan trik-trik dari Peter, Raja Aragon. Terjadilah pertempuran antara Raja Peter II dengan Simon de Montfort, yang berakhir dengan kematian Raja Peter II (1213). Maka, seluruh daerah kekuasaan Raymond jatuh ke tangan Simon de Montfort, kecuali Toulouse. Namun Paus Innocent III mengakui de Monfort hanya sebagai administrator daerah-daerah ini. Pada saat Konsili Montpelier 1215 diadakan, Simon de Montfort diakui sebagai Pangeran Toulouse, dengan catatan pemberian hak-hak yang khusus kepada Raymond dan keturunannya. Setelah diberitahukan kepada Paus Innocentius III bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk menumpas heresi, akhirnya menyetujui pilihan itu. Setelah 7 tahun lamanya dari pertempuran, pembantaian yang tidak dapat dikatakan disebabkan karena kesalahan satu pihak saja, hambatan terbesar untuk menumpas heresi Albigensian (Neo- Manicheaeism) akhirnya teratasi, walaupun selanjutnya masih terdapat sisa- sisa pengaruhnya.

Setelah Simon de Montfort wafat, puteranya Amalric naik tahta, mewarisi hak-hak ayahnya. Namun kemudian terjadilah pertempuran-pertempuran di wilayahnya hingga akhirnya ia dan  Raymond VII menyerahkan daerah kekuasaan mereka kepada Raja Perancis. Sementara ini Konsili Toulouse (1229) mempercayakan kepada Inkuisisi (Inqusition) ke tangan para biarawan Dominikan, dengan tujuan untuk mengakhiri heresi Albigensianisme. Heresi ini akhirnya berakhir di akhir abad ke- 14.


IV: ST. DOMINIKUS DAN ST. FRANSISKUS:

Dari di sini kita melihat juga peran kedua orang kudus yang hidup pada jaman itu, yaitu St. Dominikus dan St. Fransiskus. Pertempuran itu tidak menghentikan kampanye khotbah dan diskusi. Uskup Diego pensiun, dan kini Dominikus Guzman mengambil peran aktif. Ia beserta timnya mulai diakui sebagai pengkhotbah resmi. Des 1216, ordo Dominikan diakui oleh Paus Honorius III dengan tugas khusus untuk berkhotbah. Ordo ini bertujuan untuk melatih para penerus rasul untuk memerangi heresi dengan pemikiran/ ajaran dan kehidupan asketik. Kehidupan biara diisi dengan proses mempelajari Kitab Suci dan membahas pertanyaan-pertanyaan Teologis. Dari ordo inilah muncul Peter Lombard dan St. Thomas Aquinas. Di sinilah kita mengetahui bagaimana Tuhan memakai kejadian yang kisruh di abad pertengahan tersebut, untuk kemudian melahirkan pengajaran Gereja Katolik yang lebih sistematis, dan berakar pada Alkitab, sehingga dapat lebih mudah diajarkan kepada umat. Dengan memahami ajaran ini, maka umat Katolik diharapkan untuk lebih memahami imannya tidak mudah terbawa oleh arus pemahaman heretik yang tidak mempunyai dasar yang kuat, sehingga kontradiktif di dalam banyak hal.

Demikian pula, St. Fransiskus adalah seorang kudus yang lahir pada jaman itu (1182) untuk memberi teladan kehidupan membiara yang memegang kaul kemiskinan, berlawanan dengan kehidupan berlebihan para clergy pada saat itu. Dengan demikian teladan hidupnya menjadi contoh hidup para religius, dan dengan caranya sendiri ia berperan untuk memurnikan makna panggilan hidup membiara. St. Fransiskus berasal dari keluarga yang kaya dan ternama, namun ia meninggalkan segalanya demi maksud membangun Gereja. Ia mendirikan ordo para bruder yang hidup dalam kaul kemiskinan dan mengkhotbahkan pertobatan. Ordo ini berkembang pesat, dan membangkitkan kembali Gereja Katolik dari dalam.

Melalui kedua orang kudus ini, St. Dominikus dan dan St. Fransiskus dari Asisi, Tuhan memenuhi janjinya,  “di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.” (Rom 5:20) Artinya, biar bagaimanapun kuasa Tuhan lebih besar daripada kuasa Iblis; dan Tuhan dapat memakai kejadian seburuk apapun untuk mendatangkan kebaikan kepada mereka yang mengasihi Dia (lih. Rom 8:28), dan janji ini digenapi-Nya di dalam Gereja-Nya.


V: KESIMPULAN AKHIR:

Sebenarnya Albigensianisme bukanlah heresi Kristiani tetapi sebuah agama yang di luar Kristen. Setelah upaya persuasif gagal, pihak otoritas Gereja menerapkan represi dengan kekerasan, yang seringnya menjurus ke arah berlebihan dan ini sangat disayangkan. Simon de Montfort bermaksud baik pada mulanya, namun akhirnya menggunakan nama agama untuk merebut wilayah kekuasaan Pangeran Toulouse. Memang harus diakui bahwa hukuman mati terlalu banyak diberikan kepada para pengikut sekte Albigensianisme ini, namun harus pula kita pahami bahwa hukuman sangsi pada jaman itu memang lebih keras diberikan daripada pada jaman sekarang, dan seringkali dipicu oleh suatu pelanggaran yang berlebihan. Pangeran Raymond VI dan VII seringnya menjanjikan akan bekerjasama menumpas heresi, tetapi tidak pernah benar- benar melaksanakannya. Paus Innocent III benar ketika mengatakan bahwa ajaran sesat Albigensianisme merupakan sesuatu heresi yang lebih buruk daripada kaum Saracens. Paus selalu mengusahakan jalan tengah, walau sering tak berhasil, dan iapun sebenarnya tak pernah menyetujui kebijaksanaan yang egois dari Simon de Montfort. Yang diperangi oleh Gereja pada saat itu, bukan saja keruntuhan agama Kristen, tetapi juga kepunahan umat manusia, karena ajaran Albigensianisme yang mendorong ‘culture of death‘/ budaya kematian, dengan membenci tubuh, membenci perkawinan dan mendorong bunuh diri dari para anggotanya.

Bahwa sesudah saat itu diadakan Konsili di Toulouse 1229 yang melarang orang Katolik membaca Alkitab, itu adalah suatu larangan yang bersifat sementara, karena pada saat itu banyak beredar terjemahan Kitab Suci dengan tafsiran- tafsiran yang menyimpang sesuai dengan ajaran Albigensian.

Maka jelaslah sudah duduk masalahnya. Gereja Katolik tidak melarang umatnya membaca Alkitab, hanya memang pada suatu periode tertentu sekitar tahun 1229, memang terjadi kondisi khusus sehubungan dengan adanya penyelewengan teks Kitab Suci yang dilakukan oleh sebuah sekte sesat (Albigensian) pada saat itu. Maka larangan untuk membaca Alkitab pada saat itu merupakan tindakan gembala untuk menyelamatkan kawanan dombanya. Sebab pengalaman telah menunjukkan bahwa tanpa bimbingan Gereja maka penafsiran Alkitab dapat berakhir dengan interpretasi yang malah bertentangan dengan iman Kristen.
Selanjutnya, terutama melalui Konsili Vatikan ke II, Dei Verbum 25,  kita mengetahui bahwa kita sebagai umat beriman dianjurkan untuk membaca Alkitab, terutama para imam dan pengajar iman seperti para katekis. Namun demikian, pembacaannya harus didahului dengan doa sehingga kita dapat mendengar Dia (Tuhan) sendiri lewat ayat-ayat ilahi yang kita baca.

Mari kita melihat fakta sejarah dengan sikap obyektif. Bahwa memang terdapat kesalahan- kesalahan dari kedua belah pihak, namun selalu ada alasannya, mengapa sampai demikian. Albigenses atau Catharist adalah ajaran Neo- Manichaeism (versi baru dari Manichaeism yang adalah aliran sesat pada jaman St. Agustinus sekitar abad ke-4) yang sangat tidak Kristiani, maka mereka bukannya menawarkan ‘doktrin reformed’, karena prinsip ajaran mereka malah sungguh menyimpang.  Saya sebagai umat Katolik, sepenuhnya bisa memahami keputusan pihak otoritas Gereja Katolik saat itu, dalam rangka mempertahankan kemurnian pengajaran iman Kristiani yang sesuai dengan pengajaran para rasul, walaupun juga menyesalkan adanya keadaan kekerasan yang melewati batas. Agaknya memang keadaan pada saat itu sangatlah rumit, dan Paus Innocentius III sungguh menghadapi pilihan yang sangat sulit. Tetapi, tanpa kegigihannya mengakhiri heresi Albigensian, mungkin tak banyak bangsa yang bertahan hidup sampai sekarang, bukan karena perang, tetapi karena dengan sendirinya membenci kehidupan dan mengakhiri kehidupan mereka sendiri dengan bunuh diri. Dengan mempelajari sejarah Gereja kita akan semakin disadarkan akan kelemahan kita sebagai manusia, namun juga kita mengagumi akan campur tangan Tuhan yang menjaga keberadaan Gereja-Nya yang diterpa badai tak hanya dari luar tetapi dari dalam tubuhnya sendiri. Namun janji Tuhan Yesus kepada Rasul Petrus selalu digenapinya, dan Kristus tak akan membiarkan Gereja-Nya runtuh, sebab Ia berjanji, “alam maut tidak akan menguasainya.” (Mat 16:18).


SALAM DAMAI KRISTUS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar